Laman

YKCP

YKCP

surat keputusan YKCP


YAMAHA KING CLUB PADANG
(YKCP)
Sekretariat : Alang Laweh Koto Padang

Surat keputusan

          Sehubung dengan hasil mubes YKCP pada tanggal 16 october 2010,di sekretariat  yang member kewenang kepada ketua dan wakil ketua yang terpilah dalam memutuskan siapa-siapa saja  yang duduk atau menjabat dalam kepengurusan.

Meninbang, mengingat, dan memutuskan ;

Sekretaris     : Romi
Bendahara    : Ali Motor
Penasehat    :
            -Hendri (gasak)
                     -Dani  (thunder)
                     -Darwis
Seksi humas / Publikasi / Turing  :
                     -Nofri
                     -Arlis
                     -Pebri
Seksi perlengkapan / mekanik / Dokumentasi :
                     -dani (jando)
                     -Ali (omcaei)
                     -Andra

          Demikianlah  hal ini kami sampaikan atas perhatian dan bantuan  bro semua kami ucapkan terimakasih.

Padang, 21 October 2010
                                                                                 Ketua 


                                                                                               Dian Kayo

Etika Berkendara dan Cerminan Budaya Bangsa

Etika Berkendara dan Cerminan Budaya Bangsa
Oleh : Pradita Tria Wirawan
 This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it


    Memasuki era globalisasi saat ini, masyarakat modern dituntut untuk mempunyai mobilitas yang tinggi. Mobilitas yang tinggi tersebut mendorong terjadinya kepadatan lalu lintas barang dan manusia di seluruh dunia. Melihat perkembangan yang ada dari kepadatan lalu lintas tersebut, semakin banyak ditemukan fakta yang menunjukkan bahwa jalan raya justru menjadi ladang pembunuhan manusia modern. World Health Organization (WHO) mencatat bahwa 1 juta orang diseluruh dunia meninggal setiap tahun di jalan raya akibat kecelakaan, dimana 40 % diantaranya berusia dibawah 25 tahun. Pada tahun 2020 angka tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 1,4-1,6 juta jiwa manusia melayang di jalan raya. Sementara itu, jutaan orang lainnya mengalami luka parah dan cacat fisik akibat kecelakaan1. Di Amerika, sejak kendaraan bermotor ditemukan sebanyak 3 juta jiwa telah melayang akibat kecelakaan jalan, yang berarti lebih banyak dari korban perang revolusi hingga korban invasi AS ke negara lain.
    Di Indonesia, angka kecelakaan jalan raya juga menunjukkan tren yang selalu meningkat setiap tahunnya. Data Departemen Perhubungan RI menunjukkan bahwa tahun 2003 terdapat 13.399 kecelakaan lalu lintas di seluruh Indonesia dimana 9.386 diantaranya melibatkan sepeda motor. Kemudian tahun 2004 terdapat 17.734 kecelakaan dan 14.223 diantaranya melibatkan sepeda motor. Angka tersebut semakin bertambah pada tahun 2005 dimana terdapat 33.827 kecelakaan dan 36 % diantaranya (12.178 orang) meninggal dunia. Angka tersebut juga berarti 33 orang meninggal di jalan raya setiap harinya. Pada tahun 2006, jumlah ini semakin mencemaskan karena terdapat 36.000 korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas dimana 19.000 diantaranya merupakan pengendara sepeda motor2. Jumlah kecelakaan diatas merupakan kecelakaan yang tercatat secara resmi dan belum termasuk angka kecelakaan yang tidak dilaporkan seperti di tempat-tempat terpencil dan pedesaan.
    Dari segi kerugian materi, kecelakaan di jalan telah mengakibatkan kerugian hingga 1-3 % dari PDB sebuah negara. Diperkirakan total dari kerugian ekonomi akibat kecelakaan mencapai US$ 500 milliar dollar di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut tersebut, sekitar US$ 440 milliar dollar diderita oleh negara maju, sedangkan negara berkembang menderita kerugian sekitar US$ 60 milliar Dollar. Di Indonesia, kerugian materi akibat kecelakaan pada tahun 2005 mencapai Rp 55,2 milliar yang mengalami pertumbuhan sekitar 2,2 % dibandingkan tahun sebelumnya3.
Budaya Masyarakat Instan
    Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya peningkatan jumlah kecelakaan di jalan setiap tahunnya. Faktor tersebut antara lain adanya paradigma berpikir masyarakat instan di jaman modern, mulai lunturnya sensitifitas dalam berkendara, dan minimnya etika berkendara untuk tertib, saling menghormati, saling menghargai, sehingga mengakibatkan semakin tergerusnya rasa kepemilikan akan sesuatu. Faktor-faktor diatas mempunyai hubungan kausalitas atau sebab akibat yang saling berkaitan antara satu sama lain. Faktor tersebut dapat disederhanakan menjadi 3 faktor utama penyebab kecelakaan, yaitu manusia, kendaraan, dan lingkungannya. Diantara ketiga faktor tersebut, faktor kesalahan manusia (human error) merupakan penyebab kecelakaan yang tertinggi yakni 86,8 % dari total kecelakaan yang terjadi4, dimana hal ini berkaitan erat dengan etika berkendara di jalan raya. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana etika berkendara dapat menciptakan kenyamanan dan keselamatan di jalan raya ? Dan apa korelasi positif antara etika berkendara dengan tingkat peradaban budaya sebuah bangsa ?
    Penjelasan dari faktor utama (the main factor) yang dapat menjelaskan bagaimana jalan raya dapat menjadi ladang pembunuhan bagi manusia modern adalah adanya kenyataan bahwa kehidupan manusia modern tidak dapat dipisahkan dari pergerakan yang dinamis, fleksibel, cepat dan efisien dalam melakukan segala hal. Ini adalah tuntutan global di tengah persaingan yang kian kompetitif seperti sekarang. Implikasi positifnya adalah perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat, termasuk adanya berbagai inovasi dalam bidang pengembangan alat transportasi. Namun, hal tersebut juga mendorong berkembangnya pola pikir praktis pragmatis dalam masyarakat yang justru dapat menghambat perkembangan pengetahuan itu sendiri. Sikap pola pikir praktis prakmatis masyarakat tersebut pada akhirnya akan terbawa pada saat membawa kendaraan di jalan raya sehingga dapat dengan mudah mengabaikan prinsip kehati-hatian dan kewaspadaan di jalan raya. Seseorang akan lebih mudah mengabaikan kepentingan orang lain dengan mengesampingkan adanya sikap toleransi dan kehati-hatian di jalan raya hanya karena diburu waktu dan ingin menyelesaikan segala sesuatu dengan cepat. Alih-alih mengembangkan berbagai perangkat keselamatan canggih dalam kendaraan di masa modern ini, jumlah kecelakaan dan kerugian materiil maupun immateriil akibat kecelakaan justru semakin meningkat dari masa ke masa.
    Selain itu, melihat perkembangan faktor sosial budaya di Indonesia, pola pikir masyarakat yang praktis pragmatis dalam berkendara di jalan raya juga telah melahirkan masyarakat instan baik saat berkendara maupun diluar berkendara. Masyarakat instan ini kemudian mendorong lunturnya etika dalam berkendara di jalan raya. Semua orang ingin dilayani dengan cepat sehingga memunculkan sikap saling terabas. Prof. Koentjaraningrat seorang pakar antropologi di dalam bukunya Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan menyebutkan bahwa salah satu kelemahan dari sifat mental bangsa Indonesia sesudah revolusi adalah apa yang disebut sebagai mental menerabas. Mental menerabas tersebut adalah nafsu untuk mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan utnuk berusaha dari permulaan secara selangkah demi selangkah. Sifat mental tersebut sejalan dengan sifat-sifat negatif lainnya seperti pelanggaran disiplin, suka mengabaikan tugas, dan meremehkan mutu dari proses yang dilakukan5. Fakta ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Koentjaraningrat selama tiga dasawarsa terakhir. Namun melihat perkembangan yang ada saat ini, sifat tersebuti tidak semakin berkurang bahkan semakin mengakar dan menggurita di segala lini kehidupan masyarakat Indonesia.
    Sifat menerabas ini sekarang tercermin dari perilaku pengemudi di jalan raya yang lebih menekankan ego masing-masing pengendara, terlebih disaat jalanan macet. Akibatnya pengendara cenderung mengabaikan peraturan lalu lintas yang ada, seperti penggunaan helm standar yang dapat melindungi kepala dengan penuh, mengendarai kendaraan secara serampangan, serta minimnya sikap untuk saling menghargai dan menghormati antar sesama pengguna jalan.
    Selain itu, mental menerabas juga dapat dilihat dari bagaimana cara mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) secara praktis yaitu melalui calo atau ”menembak” petugas. Cara mendapatkan SIM seperti ini sudah tidak asing lagi di hampir semua wilayah di Indonesia. Padalah SIM merupakan lisensi resmi yang dapat membuktikan kelayakan seseorang untuk dapat mengendarai kendaraan sehingga tidak membahayakan keselamatan dirinya dan orang lain. Jika cara mendapatkan lisensinya saja sudah melalui cara yang tidak jujur, maka tidaklah mengherankan apabila pengendara kendaraan bermotor belum mempunyai kesiapan psikis walaupun sudah siap secara fisik (umur dan kondisi tubuh sudah mencukupi), sehingga kurang mempertimbangkan faktor resiko keselamatan di jalan. Ketidaksiapan psikis pengendara ini kemudian akan menyebabkan seorang pengendara kehilangan sensitifitas atas apa yang dimilikinya (baca : kesehatan dan kendaraan) hingga menganggap kecelakaan adalah hal yang biasa dalam berkendara.

Safety Riding + Devensif Driving = Budaya Keselamatan Jalan
    Perkembangan pesat penjualan motor di Indonesia sebagai pilihan praktis dan efisien bagi masyarakat Indonesia menempatkan posisi pengendara ini sebagai pihak yang paling rawan untuk menjadi korban dalam sebuah kecelakaan. Tahun 2008 ini Departemen Perhubungan RI mengumumkan bahwa 8 dari 10 kecelakaan di Indonesia melibatkan sepeda motor sebagai korban. Hal ini dapat dimaklumi dengan melihat data penjualan sepeda motor yang spektakuler dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 jumlah total kendaraan bermotor yang terdaftar di Indonesia mencapai 26 juta unit, dimana 76 % diantaranya atau 19 juta unit merupakan sepeda motor6. Pada tahun 2007, populasi untuk sepeda motor saja sudah mencapai 35 juta unit atau meningkat 54,2 % dibandingkan tahun 20037. Sementara itu, pertumbuhan panjang jalan tidak dapat mengimbangi pertumbuhan kendaraan bermotor. Berdasarkan data dari Departemen PU, dari tahun 2000-2004 pertumbuhan jalan nasional pertahunnya hanya 7,15 % saja.
    Pilihan masyarakat yang menjadikan kendaraan sepeda motor menjadi alat transportasi andalan tidak lepas dari pilihan rasional (rational choise) masyarakat Indonesia. Sepeda motor dianggap mempunyai banyak keunggulan dibandingkan moda transportasi lain karena efisien, lincah, gesit, terjangkau dari segi harga, dan irit bahan bakar. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka tidaklah mengherankan apabila dalam beberapa tahun terakhir muncul fenomena pemudik dengan sepeda motor yang terkadang membawa muatan yang berlebihan dan mengesampingkan resiko keselamatannya. Selain itu, pengendara sepeda motor juga memerlukan banyak perangkat keselamatan untuk melindungi dirinya dari kecelakaan yang mungkin terjadi. Perangkat keselamatan wajib seperti helm standar (safety helmet), jaket keselamatan (jacket helmet), sarung tangan (safety glove), dan sepatu (safety shoes) terkadang diabaikan karena pertimbangan fleksibilitas dan dianggap mengganggu kenyamanan berkendara. Mengingat besarnya jumlah pengendara sepeda motor dan faktor resiko yang dihadapi pengendara sepeda motor, maka dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang baik akan etika berkendara di jalan raya, cara berkendara yang baik, ketrampilan berkendara, dan perangkat berkendara yang diperlukan.
    Salah satu langkah sosialisasi dalam rangka menekan angka kecelakaan, khususnya bagi pengendara sepeda motor adalah pengenalan konsep safety riding. Dalam hal ini, pengendara sepeda motor akan dikenalkan dengan berbagai perangkat keselamatan, pengujian ketrampilan berkendara, pengenalan karakteristik kendaraan, dan pengenalan mengenai etika dasar berkendara di jalan raya. Langkah awal ini penting untuk menyadarkan pengendara kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor akan resiko berkendara sehingga dapat meningkatkan kehati-hatian dan kewaspadaan di jalan raya.
Namun sepertinya pengenalan dan kampanye konsep safety riding saja tidaklah cukup untuk menjelaskan kepada pengendara kendaran bermotor mengenai keselamatan di jalan raya. Diperlukan sebuah sistem yang lebih kompeherensif dan menyeluruh sehingga pengendara kendaraan bermotor benar-benar sadar dan paham akan pentingnya menjaga dan membudayakan keselamatan di jalan raya. Konsep safety riding kemudian dikembangkan menjadi defensive driving. Defensive Driving ini dapat dikatakan sebagai antitesis dari Arrogant Driving dan merupakan pengembangan lebih lanjut dari safety riding yang sudah populer lebih dahulu. Jika konsep safety riding lebih menekankan kepada penguasaan kemampuan dan ketrampilan mengendarai kendaraan, maka defensive driving lebih mengarah kepada pengendalian pola, cara, mental serta attitude pengendara. Setidaknya terdapat empat kunci utama prinsip defensive driving tersebut yaitu :
  1. Kewaspadaan (Alertness), merupakan faktor utama yang menjamin pengendara untuk selalu siaga dan waspada. Ini adalah sistem perlindungan pertama jika menghadapi pengendara lain yang berlaku serampangan di jalan raya. Pengendara tidak akan mudah terpengaruh untuk mengikuti tindak serampangan di jalan raya karena ia sadar sepenuhnya akan bahaya yang mungkin dapat muncul akibat tindakan tersebut.
  2. Kesadaran (Awarness), adalah penguasaan diri dalam berkendara. Pengendara yang mempunyai kesadaran penuh dan memiliki prosedur berkendara dengan baik, benar, dan aman akan selalu terdorong untuk tertib pada peraturan yang ada. Selain itu, pengendara yang mempunyai kesadaran penuh dalam berkendara tidak akan bersikap membahayakan bagi keselamatan dirinya dan orang lain.
  3. Sikap dan Mental (Attitude), merupakan faktor dominan yang sangat menetukan keselamatan di jalan raya. Seseorang yang dapat mengendalikan sikap di jalan raya berarti dapat mengendalikan egonya. Dengan pengendalian ego di jalan raya, maka akan muncul sikap untuk memperhatikan kepentingan orang lain selain kepentingan diriinya. Sikap emosional yang memicu arrogan driving dapat dihindarkan. Dari pengendalian sikap ini maka dapat lahir budaya tertib untuk antri, saling menghormati dan menghargai antar pengguna jalan sehingga keruwetan dan kecelakaan lalu lintas dapat dihindari.
  4. Antisipasi (Anticipation), merupakan hal yang penting mengingat dengan sikap ini maka akan timbul upaya inisiatif untuk dapat mengantisipasi segala kejadian yang tidak terduga di jalan raya.
Dalam konsep defensive driving ini, faktor pengenalan atas karakteristik kendaraan yang dipakai sehari-hari sangat penting karena menyangkut pengambilan sikap reflek spontan, kewaspadaan, kesadaran berkendara, dan upaya antisipasi dengan cepat. Pengenalan karakteristik kendaraan ini dapat dilakukan dengan cara mengenali sistem pengereman, bobot kendaraan, laju kecepatan, dan masalah kenyamanan kendaraan yang digunakan. Hal ini penting karena merupakan faktor kedua penyebab kecelakaan selain manusia (human error) dan lingkungan. Menurut dr. Aviandy Sukarto Msc.SpKP, tentang kesigapan reaksi atas obyek yang datang tiba-tiba menyebutkan bahwa saat melihat sesuatu mata menscaner objek dan mendapatkan kesan dalam tempo 0,02 detik. Lalu gambaran objek tadi dikirim ke otak untuk diinterpretasikan dalam waktu 1,55 detik. Ini penangkapan gambar untuk objek statis, jika objeknya bergerak akan dibutuhkan waktu lebih lama. Ini artinya reaksi spontan yang terkendali sangat diperlukan dalam mengatasi suatu keadaan yang membutuhkan reaksi cepat seperti menghindari kecelakaan.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa upaya menumbuhkan budaya keselamatan jalan dibutuhkan partisipasi dari berbagai pihak baik pengguna jalan (termasuk pejalan kaki), kelompok perkumpulan, pengendara kendaraan, maupun pemerintah (Dinas Perhubungan dan Kepolisian RI). Hal ini dapat dipahami karena faktor utama penentu keberhasilan dari langkah awal upaya menumbuhkan kesadaran budaya keselamatan di jalan, dimulai dari adanya transfer pemahaman akan etika berkendara dan faktor lain yang menyangkut keselamatan di jalan raya.

Disiplin dan Gerakan Budaya
Konsep safety riding dan pengembangannya seperti defensive driving diatas, membutuhkan komitmen tinggi agar dapat diaplikasikan secara luas dalam masyarakat dan dapat dilakukan secara berkesinambungan untuk menunjang budaya keselamatan di jalan. Hal ini dapat ditumbuhkan melalui penanaman sikap kedisiplinan tinggi di jalan raya. Sifat disiplin merupakan pilar dari adanya etika berkendara kerena budaya disiplin dalam berkendara mempengaruhi banyak aspek diantaranya adalah aspek tertib aturan, tertib sikap, tertib etika, dan tertib berkendara.
Selama ini, masyarakat Indonesia belum terbiasa untuk menumbuhkan sikap disiplin di berbagai bidang, termasuk di jalan raya. Akibatnya adalah terjadi banyak pelanggaran dan upaya untuk menyiasati sebuah peraturan tertentu di jalan raya. Dampak lanjutannya adalah, pengendara akan lebih memprioritaskan faktor kecepatan daripada faktor keselamatan dalam berkendara. Ini tidak lepas dari adanya pola pikir masyarakat yang instan dan kebiasaan buruk yang dibiasakan sehingga menjadi kecenderungan bersikap yang sulit untuk dilepaskan. Contohnya kecilnya adalah kebiasaan masyarakat yang cenderung lebih tertib berkendara ketika ada petugas atau polisi didekatnya. Hal ini dapat diartikan bahwa etika berkendara secara baik belum mendarah daging di tubuh masyarakat Indonesia karena belum lahir dari hati dan masih diperlukan bimbingan penuh untuk dapat membudayakan kebiasaan yang baik seperti disiplin di jalan raya.
Argumen diatas diperkuat oleh pernyataan Prof. Koentjaraningrat dan Mohtar Lubis yang mengatakan bahwa manusia Indonesia belum mempunyai disiplin murni. Sifat mental menerabas dapat diartikan sebagai kurangnya kesabaran dan lemahnya pengendalian diri sehingga memunculkan tindakan indisipliner (tidak disiplin) yang akan berimplikasi kepada pelanggaran norma-norma hukum serta norma-norma sosial yang berlaku8. Padahal, disiplin diri menunjukkan keunggulan karena disiplin dibentuk dari kebiasaan yang sederhana namun mempunyai hasil yang sangat revolusioner.
Dalam konteks yang lebih luas, disiplin berdimensi sosial-kultural dimana seringkali harus ditumbuhkan melalui hukuman. Artinya, aspek kebiasaan atau faktor kultural merupakan faktor pembentuk utama dari upaya penegakan disiplin tersebut. Disiplin juga mempunyai aspek sosial dimana disiplin hanya akan bisa ditumbuhkan jika ada keyakinan bersama (common belief) akan urgensi dari sikap disiplin tinggi dalam masyarakat. Selain memiliki dimensi sosial-kultural, disiplin juga memiliki bentuk yang berbeda-beda. Ada disiplin mati tanpa toleransi sedikitpun yang berorientasi kepada hasil. Disiplin pada jenis ini lebih menekankan optimalisasi efek jera untuk kepentingan bersama. Selain itu, juga terdapat disiplin yang kontekstual mengacu kepada budaya suatu komunitas yang mengenal toleransi dan dilakukan secara bertahap.
Sejatinya, masyarakat Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk mulai membudayakan disiplin dengan mengembangkan sifat dasar mayoritas masyarakat indonesia yang mempunyai rasa toleransi yang tinggi dan ramah terhadap orang lain. Kedua hal tersebut merupakan modal dasar yang penting untuk dapat menjadikan disiplin sebagai suatu cara pandang yang umum ditengah masyarakat Indonesia. Permasalahan inti dalam menegakkan disiplin di Indonesia adalah belum adanya perangkat aturan yang tegas untuk menindak pelaku pelanggaran. Jikalau peraturan tersebut sudah ada, seringkali implementasi di lapangan tidak sesuai dengan prosedur penanganan yang baku. Kebiasaan inilah yang membuat sebagian besar masyarakat Indonesia terlena dengan pemberian kemudahan atas pelanggaran yang dilakukan. Kebiasaan yang telah dilakukan dalam kurun waktu yang lama ini akhirnya mendarah daging dan sulit untuk dilepaskan sehingga mengarahkan masyarakan Indonesia kepada perilaku indisipliner akut. Hal ini tentunya akan merusak tatanan asli masyarakat yang ada dimana sikap untuk saling menghargai dan mengormati antar sesama sangat dijunjung tinggi oleh masyarkat Indonesia.
Dalam hubungannya dengan perilaku berkendara di jalan raya, disiplin berlalu lintas merupakan kunci pokok untuk mengindari kemungkinan terjadinya kecelakaan. Faktor kekalaian manusia sebagai penyebab terbesar kecelakaan di Indonesia dapat diminimalisir dengan dengan adanya budaya disiplin yang akan melahirkan budaya tertib dan etika berkendara yang baik di jalan raya. Contohnya adalah berkurangnya angka kecelakaan setelah diberlakukannya aturan sepeda motor dikiri jalan dan penyalaan lampu di siang hari. Disiplin kontekstual ini dimulai dari lingkungan yang paling kecil dan diperluas sehingga dapat menjadi nilai yang dapat terinternalisasi di setiap lapisan masyarakat. Ketika lingkungan masyarakat merasakan manfaat akan disiplin berlalu lintas, maka saat itulah disiplin dapat dikatakan menjadi sebuah gerakan budaya.

Menarik Benang Merah
A thousand miles journey begin with a small step (Lao Tse). Sekiranya pernyataan yang penuh arti filosofis tersebut dapat menguatkan mental dan tekad kita untuk mulai membangun budaya disiplin dan tertib di jalan dari sekarang. Budaya disiplin dan tertib di jalan akan berbuah etika berkendara yang baik sehingga memunculkan sikap untuk saling mengerti, memahami, dan toleransi antar sesama pengguna jalan. Pada akhirnya, etika yang baik dalam berkendara dapat meminimalirsir terjadinya kecelakaan yang dapat menimbulkan banyak kerugian baik materi maupun immateri, seperti hilangnya nyawa seseorang. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa untuk menciptakan suasana keamanan dan kenyamanan dalam berkendara, maka diperlukan etika berkendara yang ditopang oleh sikap disiplin dan tertib pengendara kendaraan. Untuk itu diperlukan suatu komitmen dalam membangun masyarakat berbudaya disiplin tinggi dan tertib dengan mulai melakukan hal-hal kecil seperti kebiasaan untuk taat peraturan. Tentunya taat peraturan disini bukanlah taat karena takut kepada pengawas tetapi karena kesadaran hati atas dorongan untuk melindungi hak pribadi dan hak orang lain.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa etika berkendara pada suatu masyarakat mencerminkan seberapa tinggi tingkat peradaban masyarakatnya dalam berbudaya. Apakah akan menjadi komunitas masyarakat yang arogan, teledor, atau menjunjung tinggi toleransi. Semua hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana ketertiban di jalan dapat diwujudkan. Hal tersebut dikarena jalan merupakan tempat bertemunya berbagai macam tipe orang, sehingga harmonisasi antar masyarakat yang berbeda dapat diusahakan untuk menciptakan keteraturan. Setelah kita mengurai benang kusut mengenai masalah keamanan dan kenyamanan berkendara di jalan raya dan menarik benang merahnya sehingga diketahui letak permasalahan, apakah kita akan terjebak kepada permasalahan yang sama di kemudian hari ?

Sumber-http://www.gc.ukm.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=78:etika-berkendara

JAMBORE NASIONAL YRKI (Yamaha Rx King Indonesia) V

Waktu
09 Oktober jam 0:00 - 10 Oktober jam 0:00

TempatMMTC Jl. Magelang Km. 6 Yogyakarta

Dibuat oleh:

Info Selengkapnya"SATUKAN SANG RAJA DEMI SATU MAHKOTA"

Informasi YKCP(yamaha king club padang)



Sekretariat:
Jl. Alang Laweh Koto 2 No. 21 A
 Kel. Alang Laweh
Kec. Padang Selatan
Kota Padang Sumatera Barat.

Basecamp:
Alang Laweh_Taplau Padang
Maps:
.....

Telpon:
Nofri (081267051210)
Ali Motor (08126724319)

Bengkel:
Ali Motor 

Email:
ykcp.padang@gmail.com

Blog:
http://yamahakingclubpadang.blogspot.com

Fb:
ykcp.padang@gmail.com